Menuju Perjalanan Besar

Apa esensi dari sebaris kalimat saya terima nikahnya?

Happily ever after just like disney princesses and their princes?

Dibalik dekorasi indah, riasan dan busana anggun, makanan serba enak, dan foto-foto yang dihiasi senyum bahagia, ada segudang tanggung jawab menanti.

Token listrik, cicilan rumah, biaya pendidikan, biaya makan, bensin, internet, gas dan air, biaya kesehatan, lingkungan, pengeluaran tak terduga, belum lagi drama keluarga. Baaanyyaaakkkk!

Saya sepenuhnya sadar, menikah tidak membuat saya terbebas dari masalah, tapi setidaknya, saya nggak berkutat sama masalah yang itu-itu aja. 20 tahun lebih hidup saya kayak ada ganjalan besar di hati dan pikiran. Saya capek. Sama suasana yang tidak harmonis ini.

Saya tau banget. Nantinya, akan lebih berat jalan yang harus dilewati. Tapi pikiran muda dan idealis saya mengatakan bahwa rintangannya nanti adalah yang belum pernah saya lewati, insyaa Allah pasti akan ada jalan keluarnya karena saya gak sendirian. 

Perasaan penasaran, ingin tahu, dan merasa diri ini kuat kadang bikin saya takut. Saya takut kalau terlalu yakin. Sampai lupa kalau saya bisa saja sakit hati dan kecewa. Dan saat itu, kondisinya akan berbeda. Yang mana saya selalu attached sama pasangan, belum ditambah anak. There's no way to escape.

Sekarang kalau marah, kecewa, sedih, bisa mojok and then nangis. Semudah itu lari dari masalah dan menyalahkan diri sendiri. Nantinya, ketika saya rapuh, maka akan ada yang merasakan dampaknya seumur hidup. Ada anak-anak manusia yang keluar dari rahim saya, yang nantinya akan menggantungkan separuh masa kehidupannya terhadap saya dan pasangan. Terhadap kami, orang tua mereka.

Tahun-tahun ini mulai terasa agak sumpek. Beberapa teman sebaya mulai banyak yang ganti status. Bahkan mereka yang tak kami sangka bakal secepat ini berkeluarga. Bukan hanya saya yang merasa sumpek, Mas Bojo juga. Makin semangat ingin segera memenuhi syarat nikah dan daftar KUA. 

Sekelebat pikiran bertanya-tanya, bagaimana cara mereka, para teman sebaya yang sudah menikah, mampu menghadapi segudang kerepotan acara pernikahan? Bagi mereka yang pernikahannya dibiayai orang tua, pertanyaan ini tidak terlalu kami harapkan jawabannya.

We wonder how did they arrange money? 

Membagi pos-pos pengeluaran dan tabungan sehingga bisa secepat itu menyatukan keluarga besar satu sama lain.

I know, we shouldn't compare our life to anybody else. Just curious.

Sampailah saya pada sebuah pemikiran. Kita tidak harus memburu-burukan sesuatu karena waktu semua orang berbeda. Ketika saya dan pasangan memerlukan waktu lebih lama dibanding beberapa orang sebaya, bukan berarti kami terlambat. It's just not our time.

Di titik ini, saya menemukan diri saya yang lebih enjoy. Tidak lagi terlalu mikirin kiri kanan akan mengatakan apa tentang kehidupan saya. Persetan. Saya jalani apa yang terjadi tanpa memberi target waktu yang muluk-muluk. Saya yakin, semua sudah ada waktunya masing-masing.

Justru di saat begini, saya masih sempat jalan-jalan hampir tiap malam dengan ibu dan adik, saya leluasa menyusun skripsi, saya leluasa jualan kesana kemari, saya beli makanan yang saya suka, jalan-jalan kesana kemari dengan Mas Bojo tanpa bawa gembolan popok, intinya, just chill!


Popular posts from this blog

Berandai-andai

Stranger

Cuma Mau Cerita